Kain tenun Bentenan merupakan harta peninggalan yang bernilai tinggi dan pertama kali ditemui dan ditenun terakhir di daerah Ratahan tahun 1900 (laporan Controleur Belang, CCT Witteveen, 12 April 1982, Etnik Minahasa, hal 38). Itu sebabnya disebut kain tenun bentenan, karena dihubungkan dengan desa Bentenan yang terletak di pesisir pantai timur Minahasa Selatan, termasuk Ratahan dan Ponosakan. Saat ini (menurut penelitian), hanya terdapat 28 lembar kain yang tersisa di dunia. Empat diantaranya terdapat di Museum Nasional, Jakarta , 4 helai di Tropen Musium Amstrerdam, 7 helai di Musium di Wereld Rotterdam , 2 helai di Musium Jerman, 4 helai di Ethonographical Musium Dresden dan 1 helai di Indonesia Ethnografisch Musium Delf, 2 helai di Musium Nasional Jakarta , 4 helai di Tropen Musium Amsterdam .
Orang Minahasa tidak menyadari bahwa, teknik tenun Minahasa pada abad 18 telah memiliki teknik tenun tersendiri yang merupakan satu-satunya teknik tenun di dunia. Teknik tenun yang disebut tenun muka lungsi (warp face), diakui oleh para ahli dari barat (Indonesia Indah: Tenunan Indonesia . Buku 3 hal 28-289, oleh Yusuf Effendi, 1996). Bahkan di Zaman tersebut, sehelai kain tenun Bentenan sangat mahal harganya, dinilai sama dengan emas sehingga digunakan juga sebagai emas kawin.
Menurut penelitian, pembuatan sehelai kain tenun Bentenan memakan waktu yang lama, karena menggunakan teknik tenun yang sangat tinggi, dan konon tertua dalam kebudayaan Indonesia . Adapun berbagai cara atau taktik menenun di antaranya, sinoi yaitu, Benang-benang dicelup warna-warni, sehingga menghasilkan tenun yang bergaris, kaiwu di mana, benang-benang diikat, kemudian dicelup warna-warni, untuk membentuk motif hias. Dan pinatika atau benang-benang yang telah dicelup warna-warni, kemudian tenun saling silang melewati lebih dari satu membentuk pola hias yang bertekstur. Sangat disayangkan, kain tenun yang indah ini tidak dilestarikan dengan baik, sehingga secara perlahan namun pasti mulai hilang dan terlupakan sema sekali keberadaannya.
Untunglah, HIMSA (Himpunan Seni dan Budaya Minahasa) yang didirikan pada November 2003 oleh para anak bangsa Toar dan Lumimuut yang peduli akan kelestarian seni dan budaya Minahasa secara insentif dan terarah, sehingga dapat menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut di setiap hati nurani insan Minahasa di manapun berada. Untuk saat ini, HIMSA telah berhasil dengan baik memproduksi beberapa motif kain tenun Bentenan di atas bahan katun maupun su-tera.
Upaya ini pun semakin baik oleh kepedulian pemerintah Sulawesi Utara yang dewasa ini kian gencar memperkenalkan kain ini kepada masyarakat luas. Bahkan pemerintah propinsi telah menggunakan motif kain ini sebagai salah satu motif pakaian dinas bagi pegawai negeri sipil. Upaya yang mulia itu tentu perlu diberi acungan jempol sebab akan menjaga kelesatrian dan nilai dan kelestarian dari kain tenun yang merupakan kain yang tak ternilai harganya di dunia ini.