Welcome To The Land of Smiling People........



Senin, 01 Agustus 2011

Beruntunglah Bagi Anda Yang Bukan Orang Manado... Muchus Budi R. – detikNews

Original source : http://www.detiknews.com/read/2010/06/10/150621/1375667/10/beruntunglah-bagi-anda-yang-bukan-orang-manado?nd992203605

Bukit Kasih di kaki Gunung Soputan Minahasa.
Manado - Jangan terburu mengambil kesimpulan buruk jika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir pelancong atau pemandu perjalanan saat Anda berkunjung ke Manado atau wilayah lainnya di Sulawesi Utara. Di antara sejumlah pesona yang ada di kawasan paling utara Indonesia itu, jangan pula dilewatkan untuk mencatat lima B yang hanya ada di daerah tersebut.

Lima B yang selalu didengungkan setiba di Manado adalah lima hal yang menurut pemandu wisata setidaknya wajib diketahui bagi wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Utara. Kelimanya adalah Bunaken, Bitung, Bukit Kasih, bubur Manado, dan bibir Manado.

Taman Laut Bunaken memang telah mendunia, Pelabuhan Bitung adalah pelabuhan terbesar di Indonesia wilayah timur, Bukit Kasih adalah simbol kerukunan warga Sulawesi Utara, bubur Manado adalah bubur dengan cita-rasa khas setempat, sedangkan bibir Manado adalah penggambaran orang untuk memuji kecantikan perempuan Manado.


"Saya katakan semula bahwa lima B itu memang wajib diketahui jika berkunjung ke Manado. Tidak semua harus dikunjungi, terutama B yang kelima (bibir Manado -red). Bisa berbahaya nanti," ujar Deissy Solang, pemandu wisata yang bertugas memandu kami selama berada di daerah Sulawesi Utara.

Untuk rata-rata orang Indonesia, perempuan-perempuan Manado memang terbilang memiliki paras wajah dan postur tubuh yang cantik. Maklum, letaknya yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasific memungkinan terjadinya perkawinan silang berbagai yang membuahkan warga Sulawesi Utara saat ini. Konon, penduduk asli Manado berasal dari ras Mongolia yang kemudian kawin-mawin dengan bangsa Jepang dan Portugis.

"Perkawinan silang berbagai bangsa itulah yang menghasilkan perempuan-perempuan cantik Manado. Tapi beruntunglah bagi yang bukan orang Manado, karena masih berkesempatan menikahi perempuan cantik Manado. Sesama orang Manado dilarang menikah, karena ada semboyan Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara)," lanjut Deissy.

Tapi buru-buru Deissy meralatnya. Semboyan yang amat terkenal itu bukan untuk mengatur perkawinan, melainkan menjadi pegangan dasar hidup rukun bersama di bumi nyiur melambai tersebut. Sebab perpaduan berbagai bangsa yang kawin-mawin di Sulut, juga diikuti dengan masuknya berbagai pengaruh kebudayaan, adat-istiadat dan juga keyakinan.

Keberagaman yang tumbuh di kawasan itu memang mencerminkan kehidupan inklusif. Kelompok minoritas bisa dengan aman menjalani kehidupan berdampingan dengan kelompok mayoritas yang bersedia merengkuh. Dari kondisi ini memang beruntunglah bagi yang bukan orang Manado, karena bisa belajar melihat keberagaman terpadu dengan apiknya di satu tempat tak seberapa luas di Manado.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, Fredrik Rotinsulu, mengatakan warganya memegang semboyan itu tak hanya berhenti pada kata-kata sehingga bisa hidup rukun. Suku Manado dan Minahasa yang paling dominan, mampu merangkul waga dari suku-suku lain yang tinggal di daerah itu. Penganut Kristen Protestan yang mayoritas mampu memberi kesejukan bagi penganut keyakinan lain untuk tetap tenang dalam melaksanakan peribadatannya.

"Selain itu, ada petuah bijak dari Dr Sam Ratulangi, pahlawan nasional dari Sulawesi Utara ini. Petuah beliau itu berbunyi, sitou timou tumou tou yang artinya manusia hidup untuk menghidupkan manusia lainnya. Kedua nasehat itu terus diabadikan di benak masing-masing kami untuk dilaksanakan dalam realitas kehidupan," ujar Rotinsulu.

Secara geografis letak Sulawesi Utara memang cukup riskan 'tertular' konflik. Daerah itu berbatasan langsung dengan Poso, Maluku, Maluku Utara, dan Mindanao Selatan (Filipina). Keempat kawasan itu pernah mencatat sejarah yang kurang menyenangkan terkait konflik berlatar keagaman.

Namun kesadaran semua bersaudara dan menghidupi orang lain itulah, lanjut Rotinsulu, yang mampu membentengi Sulut hingga sekarang. Dia menyontohkan, setiap perayaan Natal, seluruh umat kristiani bisa dengan tenang beribadah karena gereja dan kawasan hunian dijaga pemuda non-kristiani. Demikian juga sebaliknya, jika umat muslim merayakan Idul Fitri, para pemuda non-muslim yang bertugas mengamankan. Begitu pula jika umat beragama lainnya merayakan hari raya.

Keberagaman yang terjaga dengan baik itupun diabadikan dalam sebuah monumen besar bernama Bukit Kasih, di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Minahasa Induk. Lokasinya berjarak sekitar 50 km dari Manado. Lokasinya tak jauh dari kawah belerang di kaki Gunung Soputan.

Di Kawasan itu didirikan sebuah tugu cukup tinggi dan besar dengan lima sisi yang masing-masing sisi terdapat tulisan dari kutipan lima kitab suci agama. Kutipan yang dipilih, kesemuanya mencerminkan ajakan kerukunan dan saling menyayangi semua manusia. Di puncak tugu tergambar bola dunia serta burung merpati menggigit ranting zaitun yang selama ini memang disepakati sebagai simbol kemanusiaan dan perdamaian.

Menurut cerita masyarakat setempat, wilayah dipercaya sebagai tempat meninggalnya nenek moyang orang Minahasa, yakni Toar dan Lumimuut. Gambaran wajah keduanya pun dipahat di tebing batu di salah satu lembah bukit, wajah keduanya menghadap pada lima rumah ibadah. Untuk sampai ke lokasi tersebut, pengunjung harus terlebih dulu menapaki 2435 anak tangga. Tak jelas benar, apa makna angka tersebut bagi sebuah perjalanan menuju kerukunan dan perdamaian.

"Menurut cerita, tata letak Toar dan Lumimuut menghadap lima tempat ibadah itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan bagi pengunjung, terutama orang Minahasa sendiri, dalam menarik kesimpulan bahwa semua orang bersaudara dan berasal dari satu nenek-moyang yang sama," ujar Deissy.

"Di Bukit Kasih inilah benih-benih kasih sayang sebagai manusia selalu ditebar dan ditanam. Di tempat ini pula, para pemuka berbagai agama juga selalu mengadakan pertemuan untuk mencari solusi bersama jika di tengah msayarakat ditemukan benih-benih persoalan bernuansa agama," lanjutnya.

Beruntunglah orang Manado yang mampu memadukan perbedaan sebagai kekuatan. Tapi bagi Anda yang bukan orang Manado, seharusnya mampu memaknai kalimat dari pemandu wisata tadi; beruntung (pulalah) bagi Anda yang bukan orang Manado, karena Anda masih berkesempatan untuk belajar kerukunan dan kebersamaan hidup kepada mereka.
(djo/djo)